Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”(Ali Imron : 130)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”(Ali Imron : 130)
Dari Jabir radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama (kedudukannya dalam hal dosa). (Diriwayatkan oleh Muslim III/1219 no. 1598).
Sungguh besar dosa riba, seperti disebutkan dalam hadist-hadist sahih berikut ini :
1. Memakan riba lebih buruk dosanya daripada berzina
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui bahwa yang di dalamnya adalah hasil riba, dosanya itu lebih besar daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih).
2. Dosa teringan dari memakan Riba itu setara dosa menzinahi Ibu Kandungnya Sendiri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinahi ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).
Naudzubillah min dzalik
3. Tak akan diterima sedekah, infaq dan zakat yang dikeluarkan dari harta riba.
Allah Subhanu wa Ta’ala berfirman :
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)
4. Do’a pemakan riba tidak akan didengarkan dan dikabulkan oleh Allah.
Di dalam hadits yang shohih, Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menceritakan
Bahwa ada seseorang yang melakukan safar (bepergian jauh), kemudian menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdo’a, “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku!” Akan tetapi makanan dan minumannya berasal dari yang haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan oleh barang yang haram. Maka bagaimana mungkin do’anya akan dikabulkan (oleh Allah)?”. (HR. Muslim II/703 no. 1015).
Para pelaku riba kekal di dalam neraka.
... orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Contoh riba dalam utang-piutang (Riba Qardh).
Misalnya, jika si A berhutang sebesar Rp. 1 juta kepada si B dengan tempo pengembalian satu bulan. Sejak awal disepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah bunga 10%. Adanya tambahan 10% tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Sedikit berbeda adalah Riba Duyun yaitu jika A dan B menyepakati ketentuan apabila A mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai tambahan, tetapi jika dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka temponya diperpanjang dan dikenakan denda atas utangnya tersebut. Tambahan ini menjadi riba.
Riba Duyun secara khusus disebut Riba Jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada zaman pra-Islam, meski asalnya merupakan transaksi Qardh (utang-piutang).
Contoh riba utang dalam transaksi jual beli kredit.
Si X membeli motor kepada Y secara Non Tunai atau kredit dengan tempo pelunasan 3 tahun. Di awal disepakati harga kredit, misalnya Rp 15 juta yang harus dibayarkan dalam 3 tahun dicicil secara bulanan. Jika dalam 3 tahun cicilan lancar, maka total cicilan yang dibayar tetap Rp 15 juta. Tapi, bila terlambat membayar cicilan di satu bulan tertentu atau tidak berhasil melunasi dalam 3 tahun, maka tempo akan diperpanjang dan si X dikenai denda sebesar 5%, misalnya. Maka, adanya tambahan ini adalah Riba, apapun alasannya.
Hal ini sering menjadi pertanyaan dalam bermuamalah di kehidupan sehari-hari.
Mari bersama-sama kita mempelajari salah satu kemungkinan terjadinya kesalahpahaman yaitu mengenai “Harga Cash dan Harga Kredit Beda”
Apakah boleh harga antara tunai dan kredit berbeda? Misalnya rumah dibayar secara Cash / Tunai adalah Rp 150 juta, sedangkan kredit / angsuran Rp 300 juta.
Ada sebagian kaum Muslim yang menganggap bahwa harga jual beli kredit haruslah sama harganya dengan harga jual beli tunai.
Mereka berpendapat jika harganya tidak sama, maka itu terjatuh pada riba. Lantas bagaimana sebenarnya hukumnya dalam hal ini ?
Marilah kita membahasnya secara singkat
PERTAMA
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah jelas tidak mempermasalahkan harga kredit yang lebih tinggi dari harga cash
KEDUA
Dalil yang melarang dua harga dalam satu transaksi itu memang ada dan benar. Tetapi cermati hal di bawah ini, karena kemungkinan ada penyerapan makna yang berbeda :
Yang dilarang adalah : dua harga dalam satu transaksi.
Pertanyaannya : apakah adanya penawaran dua harga itu yaitu harga cash dan harga kredit sudah bisa disebut transaksi?
Kalau baru di tahap penawaran dua harga, itu tidak bisa disebut sebagai transaksi, karena belum terjadi akad (kesepakatan jual-beli). Baru sebagai penawaran pilihan harga dan cara pembayaran.
Apakah transaksi terjadi sebelum atau sesudah akad?
Transaksi baru terjadi sesudah adanya akad. Saat akad, sudah disepakati bagaimana cara pembayaran dan berapa harganya.
Sehingga bila baru di tahap penawaran, maka adanya harga cash dan kredit belum bisa disebut sebagi transaksi karena penawaran terjadi sebelum akad.
PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN
Mayoritas Ulama Fiqh menyatakan bolehnya menjual barang dengan harga lebih tinggi daripada biasanya (harga cash) karena yang disepakati adalah pembayaran kredit atau dengan alasan penundaan pembayaran.
Diriwayatkan dari Thawus, Hakam dan Hammad, mereka mengatakan hukumnya boleh seseorang mengatakan, "Saya menjual kepada kamu segini dengan kontan, dan segini dengan kredit", lalu pembeli memilih salah satu di antaranya. Ali bin Abi Thalib ra. berkata,
"Barangsiapa memberikan tawaran dua sistem pembayaran, yakni kontan dan tertunda, maka tentukanlah salah satunya sebelum transaksi."
Ibnu Abbas ra. berkata :
ﻗﺎﻝﺍﺑﻦﻋﺒﺎﺱﺭﺿﻲﺍﻟﻠﻪﻋﻨﻬﻤﺎ : ﻻﺑﺄﺱﺃﻥﻳﻘﻮﻝ : ﺍﻟﺴﻠﻌﺔﺑﻨﻘﺪﺑﻜﺬﺍﻭﺑﻨﺴﻴﺌﺔﺑﻜﺬﺍ،ﻭﻟﻜﻦﻻﻳﻔﺘﺮﻗﺎﻥﺇﻻﻋﻦﺭﺿﺎ
"Seseorang boleh menjual barangnya dengan mengatakan, 'Barang ini harga tunainya sekian dan tidak tunainya sekian', akan tetapi tidak boleh Penjual dan Pembeli berpisah melainkan mereka telah saling ridha atas salah satu harga." (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata :
Diperbolehkan bagi penjual untuk menjual barangnya dengan dua pembayaran yang berbeda, yaitu kontan atau kredit. Jika seseorang berkata pada temannya, "Saya menjual barang ini 50 secara kontan, 60 secara kredit."
Lalu temannya itu berkata, "Saya beli secara kredit 60." Atau dia berkata, "Saya beli dengan kontan 50.", maka sahlah jual beli itu.
Begitu pula jika dia berkata, "Saya jual barang ini 60 secara kredit, selisih 10 dari harga aslinya jika secara kontan, karena pembayarannya di belakang", dan pembeli mengatakan setuju, maka sahlah jual beli itu. (Syakhsiyah Islamiyah juz II)
Syaikh Abdul Azis bin Baz berkata :
"Jual beli kredit hukumnya boleh, dengan syarat bahwa lamanya masa angsuran serta jumlah angsuran diketahui dengan jelas saat aqad, sekalipun jual-beli kredit biasanya lebih mahal daripada jual-beli tunai." (Majmu' Fatawa Ibnu Baz)
dan masih banyak lagi.
KESIMPULAN
Diperboleh seseorang menawarkan barang dengan dua harga atau bahkan banyak harga, tetapi deal-nya (akad jual belinya) wajib disepakati hanya satu harga saja.
Yang penting adalah :
-Akadnya jelas, Cash atau Kredit serta harga yang disepakati,
-Bila disepakati pembayaran kredit (ditentukan harga dan tenor pembayaran), maka total angsuran yang dibayarkan selama tenor, tak boleh lebih besar daripada harga kredit yang sudah disepakati di awal.
Artinya, bunga, denda keterlambatan, dan penalty pelunasan dipercepat adalah haram karena itu sudah jatuh pada riba.
Wallahu a'lam.
Murabahah Bank Syariah?
Murabahah, produk andalan bank syariah, ternyata menyimpan masalah besar, jika tidak boleh dikatakan sangat bermasalah. Melalui produk ini, bank syariah telah melanggar setidaknya tiga hadis.
(Artikel ini pernah diterbitkan oleh majalah cetak Pengusaha Muslim Indonesia, Edisi 25)
Oleh Ustad Dr. Erwandi Tarmizi
Murabahah, dalam istilah ulama fikih terdahulu, menjadi bagian jual-beli amanah. Pada salah satu bentuk jual-beli ini, penjual menyebut harga pokok barangnya dan mensyaratkan laba sejumlah tertentu kepada pembeli.
[1]
Di awal bank syariah berdiri, beberapa ekonom Muslim menawarkan produk murabahah yang telah dimodifikasi, dengan menambahkan janji antara pembeli dan penjual untuk bertransaksi jual-beli murabahah bila barang yang dipesan telah dibeli pihak bank. Nama jual-beli ini berubah menjadi murabahah lil aamir bisy-syiraa’.
Berikut contoh murabahah lil aamir bisy-syiraa’. Sebuah rumah sakit membutuhkan alat-alat kesehatan. Ia datang ke bank syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Bank syariah tidak memberikan uang. Tetapi berjanji akan membelikan alat-alat kesehatan. Pihak rumah sakit juga berjanji membeli barang itu. Bank syariah menjual barang itu ke pihak rumah sakit dengan akad murabahah. Harganya Rp 700 juta plus laba 30 persen. Jual-beli kredit ini harus dilunasi dua tahun, dengan delapan kali pembayaran. Alat-alat kesehatan itu kemudian diserahkan ke pihak rumah sakit.
Murabahah merupakan urat nadi produk investasi perbankan syariah. Dr. Sulaiman Al Asyqar memperkirakan, pada dekade 1980-an, hampir 90 persen investasi perbankan syariah berbentuk pembiayaan murabahah. Namun dari sisi kemajuan ekonomi, produk ini ternyata tidak memberi adil berarti. Dalam Muktamar V di Kuwait, 1988, anggota Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fikih Organisasi Konferensi Islam/OKI) merekomendasikan agar perbankan syariah mengurangi pembiayaan murabahah, dan beralih ke pembiayaan mudharabah dan musyarakah dengan membangun proyek-proyek industri yang dapat memajukan ekonomi.
Hukum Murabahah
Hukum
murabahah dibolehkan bila terpenuhi syarat-syarat sah jual-beli. Sebagaimana diputuskan Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi No. 2020: “Apabila seseorang memohon ke pihak kedua agar pihak kedua membeli mobil dengan spesifikasi tertentu dan pihak pertama berjanji membelinya dari pihak kedua, maka bila mobil telah dibeli pihak kedua dan telah diterimanya boleh dijual kepada pihak pertama secara tunai atau kredit dengan laba yang disepakati bersama.”
[2]
Juga dibolehkan berdasarkan keputusan Muktamar V anggota Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fikih OKI) di Kuwait, 1988: “
Murabahah lil âmir bisysyiraa’ apabila dilangsungkan terhadap objek barang yang telah dimiliki sebelumnya oleh pihak bank dan telah diterima sesuai dengan ketentuan syariat, hukumnya dibolehkan selama tanggung-jawab barang sebelum diserahkan ke pihak nasabah
ditanggung bank. Jika terdapat cacat pada barang juga
menjadi tanggung jawab bank. Juga setelah terpenuhi seluruh persyaratan jual-beli dan tidak terdapat
mawani’ (faktor penghalang keabsahan sebuah akad).”
[3]
Praktek Murabahah di Bank Syariah
Menurut Muhammad Abdus Shomad, SE, MM, mantan praktisi sebuah bank syariah ternama, di bank syariah, praktek pembiayaan murabahah di bank syariah da dua model. Berikut penjelasan dua moden itu beserta contohnya.
Model 1
Seseorang ingin membeli rumah datang ke bank. “Saya ingin membeli rumah, misalnya, yang dijual si Fulan (developer) dengan harga Rp 100 juta,” katanya kepada bank. Setelah melalui proses analisa dan survai, pihak bank menulis akad jual-beli pihaknya dengan calon nasabahya itu. Setelah melalui perhitungan tertentu, pihak bank mengatakan, “Saya akan jual kepadamu rumah itu dengan harga Rp 150 juta untuk jangka lima tahun.” Pihak bank lalu memberikan uang ke calon nasabah itu sejumlah harga rumah, dengan mengatakan, “Silakan beli rumah itu.” Pihak bank tetap di kantornya, tidak mendatangi pemilik rumah.
Tanggapan: Pada praktek murabahah Model 1 terdapat dua kesalahan. Pertama, akad jual-beli murabahah langsung disepakati antara pihak bank syariah dan nasabah. Padahal rumah belum jadi milik bank. Bila transaksi ini terjadi, akad murabahahnya tidak sah dan hukum jual-belinya diharamkan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “Wahai, Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang diinginkan dari pasar? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki!’” (HR. Abu Daud. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual-beli, tidak halal dua persyaratan dalam satu jual-beli, tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu dan tidak halal menjual barang yang bukan milikmu” (HR. Abu Daud. Menurut Al-Albani, derajat hadis ini hasan shahih).
Dalam kasus jual-beli rumah itu, bank syarih belum memilikinya, tapi telah menjualnya ke nasabah. Praktek ini dilarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana ditegaskan oleh hadis tersebut, karena termasuk menjual barang yang belum dimiliki bank.
Panduan perbankan syariah yang disusun AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions), yang berpusat di Bahrain, ditegaskan, “Haram hukumnya pihak lembaga keuangan menjual barang dalam bentuk
murabahah sebelum barang dimilikinya. Maka, tidak sah hukumnya kedua belah pihak menandatangani akad
murabahah sebelum pihak lembaga keuangan syariah membeli dan menerima barang yang dipesan nasabah dari pihak penjual pertama.”
[4]
Kedua, yang diberikan bank ke nasabah adalah uang, dan bukan rumah. Artinya, bank memberikan sejumlah uang ke nasabah untuk membeli rumah itu. Ini termasuk transaksi riba. Karena bank memberikan uang tunai Rp 100 juta dan akan menerima Rp 150 juta setelah lima tahun. Akad murabahah hanya kamuflase di atas kertas.
Model 2
Sama dengan Model 1, dengan tambahan pihak bank menghubungi penjual rumah/developer dan mengatakan, “Rumah Anda di lokasi ini telah aku beli Rp 100 juta.” Kemudian pihak bank mentransfer uang ke penjual/developer. Pihak bank mengatakan kepada calon calon pembeli rumah, “Silakan ambil rumahnya. Kami menjualnya kepada Anda seharga Rp 150 juta secara kredit.” Dengan demikian, bank mendapat keuntungan Rp 50 juta.
Tanggapan: Kesalahan dalam praktek murabahah Model 2 adalah pihak bank menjual rumah ke nasabah tanpa lebih dulu menerima rumah itu dari developer. Karena bank hanya mentransfer uang ke developer, tanpa studi tapak dan memeriksa rumah tersebut. Akad jual-beli murabahah ini statusnya fasid (batal) dan haram.
Terdapat larangan Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam mengenai menjual barang sebelum diterima penjual.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, beliau mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya sering jual-beli, apa jual-beli yang halal dan haram? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,”Wahai anak saudaraku, bila engkau membeli sebuah barang jangan dijual sebelum barang tersebut engkau terima“(HR. Ahmad dan di
hasankan Imam Nawawi). Hadis ini menjelaskan, haram hukumnya menjual barang yang telah dibeli namun fisik barangnya belum diterima
[5].
Juga diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah dibelinya sebelum ia menerimanya. Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Kenapa dilarang? Ibnu Abbas menjawab, ‘Karena dirham ditukar dengan dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan’” (HR. Bukhari).
Hadis tersebut jelas melarang menjual barang yang telah dibeli namun fisiknya belum diterima. Ibnu Abbas menjelaskan alasan pelarangan jual-beli itu sama dengan
riba bai’ (jual-beli). Hal ini karena saat pihak pertama membeli barang dari penjual 100 dirham kemudian dijual kembali ke pihak kedua 120 dirham, sama dengan menukar 100 dirham dengan 120 dirham (ini dinamakan
riba ba’i), sementara barang yang menjadi objek akad tetap di tangan penjual
[6].
Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual-beli. Tidak halal dua persyaratan dalam jual-beli. Tidak halal keuntungan penjualan barang yang tidak dalam jaminanmu dan tidak halal menjual barang yang bukan milikmu” (HR. Abu Daud. Al-Albani menyatakan, hadis ini hasan shahih).
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak halal keuntungan penjualan barang yang tidak dalam jaminanmu“, artinya, tidak halal memperoleh keuntungan dari penjualan barang yang telah dibeli, namun fisiknya belum diterima. Karena ketika barang itu belum diterima, maka jaminan barang tersebut berada dalam tanggungan penjual pertama.
Dalam murabahah Model 2, setelah rumah dibeli pihak bank dari developer melalui telepon dan sebelum diterima oleh nasabah, jaminan (risiko) rumah ditanggung developer. Andaikata rumah tersebut terbakar, developer yang bertanggung jawab, bukan pihak bank. Dengan demikian pihak bank telah mendapat untung dari murabahah tanpa menanggung risiko barang. Keuntungan ini hukumnya tidak halal.***
Pull Quote:
- Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki
- Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual-beli, tidak halal dua persyaratan dalam satu jual-beli, tidak halal keuntungan barang yang tidak dalam jaminanmu.
- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah dibelinya sebelum ia menerimanya.
Resume:
- Murabahah adalah menjual barang dengan menyebutkan harga barang, sementara penjual menetapkan laba tertentu. Ada tiga pihak yang dilibatkan dalam transaksi ini: penjual pertama, penjual kedua (diwakili bank), dan pembeli (nasabah).
- Para ekomon Islam menawarkan produk murabahah yang termodifikasi, yang dikenal sebagai murabahah lil aamir bisy-syiraa’. Salah satu bentuknya, memesan barang X ke bank, dengan perjanjian pembeli akan membeli barang X dengan keuntungan tertentu, setelah bank membelinya serta telah terjadi pindah tangan dari penjual pertama.
- Transaksi murabahah dibolehkan dengan syarat: (1) Barang telah resmi dibeli oleh penjual kedua (bank); (2) Barang telah dipindah-tangankan ke penjual kedua (bank), dan menjadi tanggungan bank; dan (3) Belum terjadi akad dan transaksi jual-beli antara bank dan nasabah, sebelum ada serah terima barang dari penjual pertama kepada pihak bank.
- Ada dua model murabahah yang diterapkan bank syariah.
Pertama: A mendatangi bank untuk membeli rumah. Kemudian bank melakukan survai rumah (bukan membeli). Selanjutnya bank menetapkan harga yang lebih mahal, lalu bank menyerahkan sejumlah uang seharga nilai rumah, agar nasabah membeli rumah tersebut. Transaksi ini melanggar dua aturan syariah, karena: (1) Bank menjual barang yang belum menjadi miliknya; dan (2) Sejatinya, bank hanya meminjamkan uang ke nasabah dan bukan menjual rumah ke nasabah. Sementara nasabah berkewajiban mengembalikan lebih. Dan ini murni riba.
Kedua, A mendatangi bank untuk membeli rumah. Kemudian bank mentransfer uang seharga rumah kepada developer. Selanjutnya rumah tersebut dijual ke nasabah dengan harga lebih mahal, sebelum bank menerima rumah tersebut dari developer. Transaksi ini melanggar dua aturan syariah: (1) Bank telah menjual barang sebelum diserah terimakan. Dan ini melanggar hadis; (2) Bank mengambil keuntungan dari penjualan barang yang belum menjadi tanggungan bank. Karena ketika rumah itu dijual ke nasabah, rumah tersebut masih menjadi tanggungan developer.
- Konsekwensi orang yang siap menerima keuntungan adalah dia harus siap menanggung risiko kerugian.
[1] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaytiyyah, jilid XXXVI, hal 318.
[2] Fatawa Lajnah Daimah, jilid XIII, hal 153.
[3] Journal Fiqh Council, edisi v, jilid II, hal 965.
[4] AAOIFI, Al Ma’ayir As Syar’iyyah, hal 94.
[5] Dr. Sulaiman At Turky, Bai’ Taqsith wa Ahkamuhu, hal 125.
Ref : https://pengusahamuslim.com/5916-murabahah-bank-syariah-100-persen-riba.html?fbclid=IwAR3gSlb_7OwISZv-blFXUV1JMKfTr33tvBRN8k6tafzV48fY7gJJKGeZW5o